SEBAGIAN Muslim
beranggapan bahwa ibadah itu hanya melakukan praktik-praktik syariat
yang berdimensi spiritual semata, seperti sholat, dzikir, dan lain
sebagainya. Anggapan tersebut sebenarnya tidak keliru. Karena memang di
dalam al-Qur’an, Allah memberikan kabar bahwa demikianlah para malaikat
beribadah kepada-Nya.
Satu tujuan utama dari penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Dalam firmannya, Allah menyampaikan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. 51: 56).
Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan
bahwa, “Aku ciptakan mereka itu dengan tujuan untuk menyuruh mereka
beribadah kepada-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.
Mengenai lafadz Illa Liya’budun
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibn Abbas, “Artinya, melainkan
supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara suka rela
maupun terpaksa.” Sedangkan menurut Ibn Juraij lafadz tersebut
mengandung maksud, “Yakni supaya mereka mengenal-Ku.”
Dengan demikian ibadah adalah perintah
yang tidak bisa ditinggalkan dengan alasan apa pun. Oleh karena itu,
dalam rangka membimbing umat manusia dari kesalahan dalam hal ibadah,
Allah pun mengutus Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam
sebagai role model yang tentu seluruh umat Islam harus mengikutinya (ittiba) secara totalitas.
Namun demikian, sekalipun ibadah kepada
Allah merupakan perintah, hakikatnya Allah tidak membutuhkan ibadah
manusia. Ibadah itu diperintahkan sebagai kewajiban adalah dalam rangka
untuk kemaslahatan manusia itu sendiri secara keseluruhan meliputi
kehidupan dunia dan akhirat.
Hal ini Allah tegaskan dalam ayat berikutnya,
مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ
“Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan” (QS. 51: 57).
Artinya, ibadah itu semata-mata memberikan
manfaat bagi manusia itu sendiri. Ibadah manusia tidak sedikit pun akan
menambah keagungan Allah. Demikian pula sebaliknya, pembangkangan
manusia juga tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan Allah Ta’ala.
Bahkan, bagi manusia yang mau beribadah
kepada Allah dengan ikhlas, baginya disediakan kebaikan yang sangat luar
biasa. Sebaliknya, jika membangkang, maka kedukaan luar biasa juga akan
menjadi balasannya.
Artinya, ibadah itu baik dan hakikatnya
sangat dibutuhkan oleh setiap Muslim. Mengenai hal ini, Ibn Katsir
mengutip satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
“Wahai anak Adam, luangkanlah waktu untuk
beribadah kepada-Ku aku akan memenuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku
akan menutupi kefakiranmu. Dan jika kamu tidak melakukannya, maka Aku
akan mengisi hatimu dengan kesngsaraan dan Aku tidak akan menutupi
kefakiranmu.”
Dengan demikian, teranglah duduk perkara
masalah ini, bahwa ternyata ibadah adalah hal utama yang tidak boleh
ditinggalkan oleh setiap Muslim. Siapa saja yang meninggalkan ibadah
karena mementingkan perkara lain, maka baginya jelas, kerugian yang tak
terkira.
Dengan kata lain, siapa yang taat dalam
ibadah maka ia termasuk Muslim yang benar dan hidup hatinya. Dan,
sebaliknya, siapa yang enggan apalagi membangkang dari beribadah, maka
baginya kerugian tak terkira.
Sepanjang Kehidupan
Menurut Sayyid Qutb dalam tafsirnya Fi
Zhilalil Qur’an menjelaskan, bagaimana ibadah malaikat kepada Allah.
Karena malaikat adalah makhluk yang paling dekat dengan-Nya. Hal ini
bisa dilihat dari ketaatan malaikat dalam ibadah yang tidak pernah
terputus dan terhenti.
“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di
langit dan di bumi. Dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada
mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa
letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. 21: 19-20).
Manusia, menurut Sayyid Qutb, bisa
melakukan ibadah seperti itu sepanjang siang dan malam, tetapi tidak
sama dengan apa yang malaikat mampu lakukan (dengan tasbih tanpa putus
dan . Sebab malaikat tidak punya hawa nafsu.
Manusia bisa menjadikan seluruh hidupnya
sebagai ibadah tanpa harus meliburkan diri dan memutuskan segala
kegiatan lain, hanya untuk bertasbih dan beribadah seperti yang
dilakukan oleh para malaikat.
Karena Islam menganggap segala gerakan dan
napas sebagai ibadah bila seorang Muslim mempersembahkan dan
menghadapkannya kepada Allah. Bahkan, walaupun hal itu merupakan
kesenangan materi dengan menikmati kebaikan-kebaikan kenikmatan duniawi.
Jadi, setiap Muslim bisa tetap dalam
ibadah selama 24 jam, sejauh apa yang dilakukan berupa amal-amal
kebaikan. Mencuci baju, menyetrika, mengajar, menulis, membaca, berkata
baik, memasak untuk keluarga, bahkan mencari nafkah dan seluruh
aktivitas, menyayangi anak/istri/suami, hatta hanya sekedar senyum, adalah ibadah, selama itu diniatkan karena Allah.
Karena aktivitas bernilai ibadah jika memang niat awalnya adalah dalam rangka mendapat ridha Allah Ta’ala.
“Sesungguhnya setiap amalan bergantung pada niatnya,” (HR. Bukhari).
Strategi dalam Ibadah
Meskipun demikian, tetap saja ibadah yang
Allah sebutkan di dalam al-Qur’an secara eksplisit dan dicontohkan oleh
Rasulullah tetap menjadi perkara yang sangat utama. Seperti sholat,
membaca al-Qur’an, membaca tasbih dan lain sebagainya.
Akan tetapi, dalam perjalanan kehidupan,
setiap Muslim pasti mengalami fluktuasi keimanan, sehingga kadangkala
muncul rasa malas dalam melakukan ibadah. Seperti sholat Sunnah di
tengah malam atau dzikir yang agak panjang, atau pun membaca al-Qur’an
sesuai komitmen yang sudah dibuat.
Terkait masalah ini, Abbdullah Ibn Mas’ud
berkata, “Sesungguhnya bagi setiap hati ada saat-saat giat dan semangat,
juga ada saat-saat lemah dan malas. Maka manfaatkanlah dengan beramal
sebaik-baiknya tatkala ia giat dan semangat, kemudian istirahatkanlah
tatkala ia lemah dan malas.”
Berarti, tatkala hati semangat, lakukanlah
ibadah dengan sebaik-baiknya dan manfaatkanlah waktu yang ada untuk
beribadah. Karena hati yang sedang semangat laksana tanah yang sedang
subur. Jadi, di tanami apa pun, semuanya akan tumbuh dengan baik.
Tetapi, jika hati sedang malas dan tidak
bergairah, maka istirahatkanlah ia dari berbagai aktivitas dan beban dan
janganlah engkau paksakan. Karena itu ibarat tanah yang kering lagi
tandus, yang tak mungkin bisa menumbuhkan apa pun.
Oleh karena itu Rasulullah tidak pernah
lepas dari yang namanya istighfar. Dalam sehari setidaknya beliau
beristighfar sebanyak 70 kali.
Hal ini adalah dalam rangka untuk menjaga
hati dari berbagai macam gangguan, satu di antaranya adalah gangguan
kemalasan dalam beribadah. Dan, yang paling utama dari istighfar itu
adalah agar Allah mengampuni dosa-dosa kita, kemudian memompa semangat
kita dalam beribadah kepada-Nya, sehingga kebahagiaan dunia akhirat
benar-benar dapat kita rasakan.*/Imam Nawawi
Post a Comment